Kau tahu, Nona. Aku memang seorang yang tak pernah betah berlama-lama menetap di perkotaan. Bukannya aku membenci kota ini, aku akui bahwa aku memang sungguh menyayanginya. Hanya saja musabab aku terlalu menyayanginya, hingga aku tak kuasa untuk menahan kesedihan melihat kota ini menjadi produsen polutan yang sangat tinggi, dan juga kini kota ini telah berevolusi menjadi rimbaan hotel pun beton-beton yang tinggi.
Di kota ini Nona, di Bumi Priangan yang terkenang akan keramahan dan juga akan keasrian alamnya, kini kenang itu hanya menjadi sekedar kenangan yang tak lagi sama. Di kota ini juga, Nona, aku merasa telah menjadi makhluk asing yang berjalan di buminya sendiri, dan aku merasa telah menjadi tamu yang asing di rumahnya sendiri.
Sebab orang-orang disini kian menjadi asing tak saling sapa, dan juga orang-orang yang menetap sejahtera disini hanyalah orang pendatang asing yang punya uang juga jabatan saja. Sementara aku dan mereka yang hakikatnya adalah tuan rumah, tak punya cukup uang untuk membeli semua kesejahteraan seperti halnya janji-janji yang ditawarkan pada baligo-baligo omong kosong sialan para birokrasi dan partai-partai yang tak ubahnya seperti nasi yang dimakan lalu jadi kotoran.
Nona, di kota ini setiap pagi surya meninggi dihiasi ketergesa-gesaan orang-orang yang mengejar deadline. Bahkan disaat orang-orang desa yang aku agungkan melangkah pulang ketika langit birunya terbakar jingga sang senjapun, mereka orang-orang kota masih saja sibuk berjibaku dengan kesibukan yang bagiku tak akan ada habisnya.
Di kota ini perlu kau ketahui, Nona, uang telah menjelma Dewa yang mengalahkan ke-Absolutan dan ke-Esaan Tuhan. Sementara jabatan berpredikat sebagai malaikat kematian yang mampu membunuh siapapun, dan kapanpun, bagi mereka yang berani menentang keotoriteran atas segala sabda, pun ilhamnya! Mereka yang punya jabatan tak ubahnya seperti fasis di Italia, hanya saja ke-fasisan mereka dalam kompleks yang lebih sempit dan terbatas!
Mari sini, Nona, ikutlah kau melihat dengan mata kepalaku ini. Tolong beritahu aku bila saja memang benar mataku ini sedikit rabun untuk melihat secercah keadilan dan juga sehasrat rasa kemanusiaan yang terlintas disini. Tapi, aku rasa mataku masih cukup sehat untuk melihat itu semua Nona. Bagaimana tidak. Kemarin siang di seberang megah dan mewahnya Gedung Sate, begitu jelas aku melihat seorang kakek renta bertubuh kurus terduduk lemas dengan sekantong karung berisi botol mineral tengah berusaha membungkam pekiknya cacing-cacing di dalam perutnya yang kelaparan. Dan juga beberapa hari yang lalu disaat orang-orang bersuka cita menyambut kedatangan bapak Presiden yang terhormat datang ke kota ini untuk menghadiri sebuah festival tak berguna yang aku sendiri tak tahu temanya. Aku masih bisa melihat dengan mataku sendiri bapak-bapak berseragam dengan perawakan tinggi kekar sibuk berdiri menenteng senjata di pangkuannya untuk memblokade jalan yang akan dilalui oleh rombongan bapak Presiden, dengan dalih dan embel-embel keamanan dan kelancaran mereka sendiri. Sementara aku dan mereka yang juga sama berhaknya seperti bapak Presiden untuk melewati jalan itu tak diperbolehkan lewat. Dan sementara bapak-bapak berseragam sibuk memblokade jalan, beberapa meter dari blokade itu mereka tak memperdulikan seorang ibu dengan bayi dipangkuannya tengah berusaha menyebrangi jalan yang tengah ramai oleh lalu-lalang kendaraan, dan nenek renta bertubuh kurus yang tengah mengais makanan dari tong sampahpun juga tak mereka perdulikan. Maka atas apa yang aku lihat dengan mata kepalaku sendiri itu, adakah secercah keadilan yang terlihat dan adakah sehasrat rasa kemanusiaan yang terlihat?
Nona, sekali lagi di kota ini keindahan asrinya alam lambat laun semakin hilang. Sebab, pohon-pohon menjelma menjadi papan informasi yang dipenuhi tempelan kertas iklan elektronik, sabun mandi, mesin cuci, atau lainnya. Pohon-pohon sesak terbelit kabel-kabel listrik. Pohon-pohon muram terhalang baligo-baligo propaganda yang menawarkan kesejahteraan rakyat, promosi perumahan mewah, atau lainnya. Dan di kota ini pohon-pohon juga sudah terlalu pengap untuk menghisap racun-racun dari polutan kendaraan. Gunung-gunung di tebang pohonnya hingga ke akar, tubuhnya rata dikeruk pemodal, juga tanahnya berubah menjadi debu yang beterbarangan di udara. Sungai-sungai menghitam dialiri limbah pabrik ataupun rumah tangga, juga ribuan sampah plastik yang berenang riang di permukaan airnya menggantikan ikan-ikan. Nyanyian burung-burung kalah bergema oleh klakson-klakson kendaraan. Dan langitpun kalah terangnya oleh lampu jalan, lampu kendaraan, juga cahaya gedung-gedung tinggi yang teramat angkuh. Di trotoarnya sampah-sampah berserakan tak tau malu. Di taman kotanya para pemuda borjuis yang teramat hedonisme sibuk beronani dengan hidupnya sendiri. Di jalannya orang-orang berjalan tergesa-gesa mengejar keterlambatannya, bersamaan dengan lalu-lalangnya kendaraan yang saling berkejaran.
Nona, keramahan, kemanusiaan, dan keadilan hanyalah menjadi barang usang yang tergeletak di sudut kota. Kebisingan kota telah mengalahkan pekiknya jeritan alam yang tengah pesakitan ini. Dan pada akhirnya, Nona, tak ada cara, pun alasan lain untuk kita berdiam diri tanpa perlawanan atas segala hal yang tabu ini!