Kamis, 14 September 2017

Di Tempat Yang Sama

Aku berdiri disini.
Di tempat yang sama,
sebermula melihatmu dan sebermula aku pergi menghilang darimu.
Ragaku pergi, tapi aku tak pernah melangkah dari tempat ini.

Ragaku yang liar berjalan entah kemana, jauh darimu dan menghilang.
Menempa diri ke belantara sunyi, atau samudera tanpa nama.
Tapi aku tak pernah melangkah dari tempat ini.
Mata jiwa dan kakiku tertanam memaku disini.

Dan ketika ragaku kembali,
aku tak lagi melihatmu berdiri di tempat ini.
Aku mencari, di celah dedaun atau di antara langkah kaki.
Aku mencarimu, aku berteriak memanggilmu.
Di tempat yang sama, tak ku temui.

Lalu aku diam,
berdiri menengadah tapi tak kulihat langit cerah sebermula aku melihatmu.
Hanya awan-awan hitam yang berarak mendung menjadi tabir.

Tetap menengadah, dengan jemari sibuk menyibak awan.
Ya terseka, langit terbuka dan matahari bersinar tak bertabir.
Aku menemukanmu, berjalan menghampiriku di tempat ini.
Melangkah beriringan dengan sepasang kaki yang seirama.
Rupanya semesta tengah merangkapmu bahagia.
Aku bahagia.

Aku menemukanmu, tapi tak ikut melangkah denganmu.
Aku tetap di tempat yang sama, melihatmu melangkah melaluiku.
Aku tetap di tempat yang sama, melihatmu bahagia dan melangkah pergi.
Dan aku tetap di tempat yang sama, tak di depanmu, tak juga di sampingmu.

Aku tak kemana-mana.
Aku di di belakangmu, mengiringi bahagiamu dengan bahagiaku.

Selasa, 12 September 2017

Kau Langit

Seindah rona jingganya senja, semenakjubkannya kilauan aurora, ataupun sehangat pendarnya fajar pagi tak akan pernah menjadi apa-apa tanpa peran Langit yang membentang luas hingga saujana cakrawala. Sebab segala warna tak akan pernah menjadi indah, tanpa adanya kanvas yang menampung segala goresan warna menjadi sebentuk estetika nan indah. Dan Sang Langit berperan sempurna sebagai kanvas bagi semesta melukiskan segala keindahannya.

Lalu di kaki Langit, Bumi berpijak dengan wajah yang senantiasa tersenyum tabah. Menjadi pecinta yang menengadah, menatap segala keindahan yang tergores di bentangan Langit yang dicintainya. Sungguh Bumi selalu sudi untuk tabah, menampung kesedihan dan deraian air mata Langit yang berupa hujan. Dan begitupun Bumi bahkan jauh lebih sudi untuk sumbringah, merekam kebahagiaan dan senyuman Langit yang berupa segala pendar nan indahan.

Musabab semua itu Nona, biarlah Kau menjadi Langit. Kanvas bagi segala keindahan terlukis di permukaannya. Dan aku, biarlah Aku menjadi Bumi. Yang mencintai Langit, dan selalu sudi untuk membendung deraian air matanya yang berupa hujan, ataupun merekam senyumannya yang berupa segala pendar nan indah itu.

Minggu, 03 September 2017

Pergi Untuk Pulang, Dan Pulang Untuk Pergi Lagi

Nona, sadar ataupun tidak, kau telah berhasil membuat aku seorang kelana tersesat di dalam rimbaan matamu yang bersahaja itu. Bukannya aku tak pernah tau arah jalan untuk keluar dan pulang ke pangkuan diri sendiri yang sepi nan sunyi ini, namun harap memang selalu bertambah kuat dalam berpijak. Harapku; aku tersesat dimatamu, dan ingin terus tersesat.
Sial memang bagi sesiapun yang tengah berjalan di atas prosesnya. Sesiapapun yang tengah berjalan itu sewaktu-waktu bisa saja jatuh ataupun seketika mati tanpa duka dan luka yang tertangkap indra. Namun alangkah berbahagianya bagi sesiapapun itu yang mampu bertahan dan terus berjalan meski tombak-tombak nestapa terhunus menembus dada, menjadikan luka tanpa darah dan tangis tanpa air mata. Sebab semakin terjal proses yang ia pijak, maka semakin indah juga hasil yang akan ia tuai di akhir jalan.
Dan ketika aku memilih untuk tetap tabah berjalan di atas prosesku ini, tiba-tiba waktu membangunkanku dari mimpi dan harapan yang semakin mengakar. Tabir kenyataan tanpa benteng atau menara gading yang menghadang harapan, aku rasa kini semakin tinggi menjulang menyentuh lapisan langit tanpa nama di cakrawala. Pilihanku hanya dua. Pertama; terus berjalan di atas proses, meski tabir kenyataan harus aku dobrak hingga maut tak lagi mau menunggu untuk menjemput. Dan yang kedua; berhenti lalu pergi menjauh demi senyum yang tersirat di wajah hari kembali pulih tanpa harus menyeka awan-awan berkabung di tepiannya.
Nona, berhenti bukan berarti melarikan diri atau tak mau menunggu sampai waktu datang dengan bahagia yang pasti, tapi terkadang bijaksana hati ini tau kapan waktunya untuk mengakhiri tanpa meski tau kapan lagi harus memulai kembali.
Sebab Nonaku, Pergi bukan berarti takan kembali. Aku yakin bahwa setiap pulang adalah untuk pergi lagi, dan setiap langkah pergi adalah untuk kembali lagi. Berlabuh, berlayar, pulang, dan pergi pada sesiapa saja yang sudi menyimpanku dalam ingatannya.

Rabu, 30 Agustus 2017

Perihal Kota

Kau tahu, Nona. Aku memang seorang yang tak pernah betah berlama-lama menetap di perkotaan. Bukannya aku membenci kota ini, aku akui bahwa aku memang sungguh menyayanginya. Hanya saja musabab aku terlalu menyayanginya, hingga aku tak kuasa untuk menahan kesedihan melihat kota ini menjadi produsen polutan yang sangat tinggi, dan juga kini kota ini telah berevolusi menjadi rimbaan hotel pun beton-beton yang tinggi.
Di kota ini Nona, di Bumi Priangan yang terkenang akan keramahan dan juga akan keasrian alamnya, kini kenang itu hanya menjadi sekedar kenangan yang tak lagi sama. Di kota ini juga, Nona, aku merasa telah menjadi makhluk asing yang berjalan di buminya sendiri, dan aku merasa telah menjadi tamu yang asing di rumahnya sendiri.
Sebab orang-orang disini kian menjadi asing tak saling sapa, dan juga orang-orang yang menetap sejahtera disini hanyalah orang pendatang asing yang punya uang juga jabatan saja. Sementara aku dan mereka yang hakikatnya adalah tuan rumah, tak punya cukup uang untuk membeli semua kesejahteraan seperti halnya janji-janji yang ditawarkan pada baligo-baligo omong kosong sialan para birokrasi dan partai-partai yang tak ubahnya seperti nasi yang dimakan lalu jadi kotoran.
Nona, di kota ini setiap pagi surya meninggi dihiasi ketergesa-gesaan orang-orang yang mengejar deadline. Bahkan disaat orang-orang desa yang aku agungkan melangkah pulang ketika langit birunya terbakar jingga sang senjapun, mereka orang-orang kota masih saja sibuk berjibaku dengan kesibukan yang bagiku tak akan ada habisnya.
Di kota ini perlu kau ketahui, Nona, uang telah menjelma Dewa yang mengalahkan ke-Absolutan dan ke-Esaan Tuhan. Sementara jabatan berpredikat sebagai malaikat kematian yang mampu membunuh siapapun, dan kapanpun, bagi mereka yang berani menentang keotoriteran atas segala sabda, pun ilhamnya! Mereka yang punya jabatan tak ubahnya seperti fasis di Italia, hanya saja ke-fasisan mereka dalam kompleks yang lebih sempit dan terbatas!
Mari sini, Nona, ikutlah kau melihat dengan mata kepalaku ini. Tolong beritahu aku bila saja memang benar mataku ini sedikit rabun untuk melihat secercah keadilan dan juga sehasrat rasa kemanusiaan yang terlintas disini. Tapi, aku rasa mataku masih cukup sehat untuk melihat itu semua Nona. Bagaimana tidak. Kemarin siang di seberang megah dan mewahnya Gedung Sate, begitu jelas aku melihat seorang kakek renta bertubuh kurus terduduk lemas dengan sekantong karung berisi botol mineral tengah berusaha membungkam pekiknya cacing-cacing di dalam perutnya yang kelaparan. Dan juga beberapa hari yang lalu disaat orang-orang bersuka cita menyambut kedatangan bapak Presiden yang terhormat datang ke kota ini untuk menghadiri sebuah festival tak berguna yang aku sendiri tak tahu temanya. Aku masih bisa melihat dengan mataku sendiri bapak-bapak berseragam dengan perawakan tinggi kekar sibuk berdiri menenteng senjata di pangkuannya untuk memblokade jalan yang akan dilalui oleh rombongan bapak Presiden, dengan dalih dan embel-embel keamanan dan kelancaran mereka sendiri. Sementara aku dan mereka yang juga sama berhaknya seperti bapak Presiden untuk melewati jalan itu tak diperbolehkan lewat. Dan sementara bapak-bapak berseragam sibuk memblokade jalan, beberapa meter dari blokade itu mereka tak memperdulikan seorang ibu dengan bayi dipangkuannya tengah berusaha menyebrangi jalan yang tengah ramai oleh lalu-lalang kendaraan, dan nenek renta bertubuh kurus yang tengah mengais makanan dari tong sampahpun juga tak mereka perdulikan. Maka atas apa yang aku lihat dengan mata kepalaku sendiri itu, adakah secercah keadilan yang terlihat dan adakah sehasrat rasa kemanusiaan yang terlihat?
Nona, sekali lagi di kota ini keindahan asrinya alam lambat laun semakin hilang. Sebab, pohon-pohon menjelma menjadi papan informasi yang dipenuhi tempelan kertas iklan elektronik, sabun mandi, mesin cuci, atau lainnya. Pohon-pohon sesak terbelit kabel-kabel listrik. Pohon-pohon muram terhalang baligo-baligo propaganda yang menawarkan kesejahteraan rakyat, promosi perumahan mewah, atau lainnya. Dan di kota ini pohon-pohon juga sudah terlalu pengap untuk menghisap racun-racun dari polutan kendaraan. Gunung-gunung di tebang pohonnya hingga ke akar, tubuhnya rata dikeruk pemodal, juga tanahnya berubah menjadi debu yang beterbarangan di udara. Sungai-sungai menghitam dialiri limbah pabrik ataupun rumah tangga, juga ribuan sampah plastik yang berenang riang di permukaan airnya menggantikan ikan-ikan. Nyanyian burung-burung kalah bergema oleh klakson-klakson kendaraan. Dan langitpun kalah terangnya oleh lampu jalan, lampu kendaraan, juga cahaya gedung-gedung tinggi yang teramat angkuh. Di trotoarnya sampah-sampah berserakan tak tau malu. Di taman kotanya para pemuda borjuis yang teramat hedonisme sibuk beronani dengan hidupnya sendiri. Di jalannya orang-orang berjalan tergesa-gesa mengejar keterlambatannya, bersamaan dengan lalu-lalangnya kendaraan yang saling berkejaran.

Nona, keramahan, kemanusiaan, dan keadilan hanyalah menjadi barang usang yang tergeletak di sudut kota. Kebisingan kota telah mengalahkan pekiknya jeritan alam yang tengah pesakitan ini. Dan pada akhirnya, Nona, tak ada cara, pun alasan lain untuk kita berdiam diri tanpa perlawanan atas segala hal yang tabu ini!

Yang Aku Cemaskan

Bila saja telah sampai pada waktunya nanti

Dimana kita tak dapat lagi berteduh di bawah rindangnya pohon
Dimana gunung gunung rata menjadi dataran
Dimana sungai, pun lautan telah berubah warna menjadi kehitaman

Dan, dimana ikan pun hewan hewan telah sampai pada titik kepunahan
Akankah kita tetap bisa bertahan hidup tanpa itu semua?
Akankah uang, plastik, beton, semen, dan baligo-baligo berisi janji, pun propaganda yang menawarkan kesejahteran itu mampu mengobati kelaparan kita? Akankah itu semua mampu meredakan penderitaan kita?
Aku rasa tidak!!

Aku cemas, anak cucuku kelak tak dapat lagi makan dari apa-apa yang tumbuh dari tanah air ini
Aku cemas, anak cucuku kelak tak dapat lagi berteduh, bermain, pun belajar di bawah rindangnya pepohonan
Aku cemas, anak cucuku kelak tak dapat lagi menikmati indahnya pemandangan dari puncak gunung ataupun perbukitan di negeri ini
Dan aku cemas, anak cucuku kelak tak dapat lagi berenang riang di laut juga hilir sungai yang jernih
Di negeri ini. Negeri yang kaya namun dimiskinkan secara perlahan oleh rakyatnya sendiri!

Maka, tak ada lagi gemanya nyanyian; Tanah air beta
Tak ada lagi syahdunya senandung;
Rayuan pulau kelapa
Tak ada lagi harunya pekik perjuangan, kidung; Indonesia raya
Dan maka, aku, kamu, juga kami semua berevolusi menjadi tamu di tanahnya sendiri!